PENJELASAN TENTANG
FATWA ALIRAN AHMADIYAH
Musyawarah Nasional (MUNAS) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22 Jumadil Akhir 1426 H.menegaskan kembali fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa tersebut MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq) sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis.
Dalam fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham aliran Ahmadiyah di seluruh Indonesia, membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Dengan fatwa tersebut, ada tiga point yang harus digaris-bawahi:
1. Aliran Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam,
sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya adalah
murtad (keluar dari Islam).
2. Dengan adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka
yang telah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali
kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis (alruju’
ila al-haqq).
3. Pelaksanaan butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan
aliran Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia harus
dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena yang memiliki
kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah selaku
ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang
merugikan pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihakpihak,
hal-hal atau kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI
ini.
Seluruh fatwa MUNAS VII MUI, termasuk fatwa tentang Aliran Ahmadiyah, dijaring dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat dalam berbagai forum, seperti Rakorda, Rakernas, Musda,
dan berbagai surat serta e-mail yang diterima oleh MUI. Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah diputuskan setelah terlebih dahulu dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan
pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dantulisan karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai literature asli terbitan mereka. Selain itu, tentu saja dilakukan pula kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal Ulama serta keputusankeputusan fatwa ulama di dunia Islam.
Aliran Ahmadiyah : Gerakan, Golongan dan Ajarannya
Aliran Ahmadiyah adalah aliran yang mengikuti ajaran Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani dan berdiri pada tanggal 23 Maret 1889. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qodiyan, nama sebuah desa
di India, pada tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal pada 26 Mei 1908. Pada awalnya (tahun 1882) Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid (reformer), namun pada tanggal 4 Maret 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjukknya sebagai al-Mahdi al-Ma’huud (Imam Mahdi yang dijanjikan) dan agar umat Islam berbai’at
kepadanya. Pada 23 Meret tahun itu pula Ghulam Ahmad menerima bai’at 20 orang dari kota Ludhiana, di antara mereka terdapat Hadrat Hakim Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pemimpin
tertinggi Ahmadiyah.
Pada tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad membuat pengakuan yang lebih menghebohkan. Ia mengatakan, selain sebagai al-Mahdi ia juga mengaku mendapat wahyu dari Allah yang menyatakan bahwa Nabi Isa a.s., yang dipercaya umat Islam dan umat Kristen bersemayam di langit, sebenarnya telah wafat. Menurut Mirza Ghulam Ahmad, janji Allah untuk mengutus Nabi Isa kedua kalinya ke dunia diwujudkan
dengan jalan menunjuk dirinya sebagai al-Masih al-Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan). Penunjukan Allah terhadap Mirza GhulamAhmad tersebut menurutnya adalah ”wahyu” sebagaimana termuat dalam Kitab Tadzkirah yang berbunyi sebagai berikut :
“al-Masih anak Maryam, rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap”.
Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar